SEBATANG POHON YANG TUMBUH DI HATI IBU
DI dalam hati Ibu, tumbuh sebatang pohon. Tidak terlihat atau teraba, tapi kurasa nyata. Pohon itu gundul, meranggas, dan tengah mempertahankan selaksa nyawa.
Bagi Ibu, tiada hari tanpa kegagalan bunuh diri. Sambil menyantap sarapan yang hambar, aku sudah biasa melihat darah segar mengalir di tubuhnya. Kemarin, ia terjun ke dalam sumur. Hari ini, ia membenturkan kepala ke punggung dinding. Dan kadang, ia meminum dua botol pil tidur yang dicampur jus stroberi dan darahnya sendiri.
Mulanya, aku menjerit histeris, memanggil tetangga, menelepon rumah sakit, dan meminta pertolongan semua Tuhan yang kuketahui. Tapi, karena sudah menjadi rutinitas setiap hari, lama-lama aku menjadi terbiasa. Tetangga dan tamu pun tidak keberatan wajah Ibu terlihat bagaikan zombie. Teman-teman dan guru tidak heran melihat kemeja putihku dihiasi bercak darah. Hanya sikap Tuhan yang belum kuketahui. Mungkin ‘kah Dia tidak peduli?
***
Kadang, kupikir Ibu memiliki seribu nyawa. Meski berkali-kali mencoba bunuh diri, ia tak kunjung mati. “Kapan Ibu akan mati?” tanyaku suatu pagi sambil mereguk segelas susu sapi. Setelah menaruh gelas di tatakannya, lelehan darah ibu di tanganku membanjiri dinding gelas.
“Nanti,” jawab Ibu. “Kalau pohon di hati Ibu telah tumbang ke bumi.”
Dulu, pohon di hati Ibu, pernah rindang daunnya. Aneka bunga bermekaran di seluruh ranting. Setelah musim bunga berlalu, buah-buahan datang menyelubungi. Dan, setiap sinar bulan menyirami nisan-nisan tua di pemakaman, sekawanan peri senantiasa datang berombongan, serupa kawanan kunang-kunang dengan sayap berkilauan. Mereka memetik harpa, menyanyikan kidung-kidung surgawi, dan menyepuh dedaunan pohon itu dengan serbuk sewarna emas, berpesta hingga embun menghamili pagi.
Meski tidak pernah bisa meraba pohon itu, aku selalu merasakan keteduhannya. Setiap lara datang menyapa, aku akan segera menghambur ke pelukan Ibu. Lalu aku akan menemukan kedamaian di bawah pohon yang paling hijau di musim kemarau. Di sana, aku mengungsikan segala pilu.
Tak pernah kuduga, sejak pria Arab—disebut-sebut ayah biologisku—meninggalkan kami, bunga-bunga yang menyelimuti pohon di hati ibu, berguguran dalam sekejap. Buah-buahan tak lagi datang bertandang. Gulma menggerogoti rumpunnya. Daun-daun serentak menguning dan berjatuhan. Menyisakan benalu dan ranting-ranting mati.
“Ibumu istri kontrak,” kata Bu Lasmini, tetangga dekatku. Waktu itu, aku tengah membeli sayur di pasar yang tak jauh dari rumah kami. “Sayangnya, Ibumu terlalu cinta pada suami kontraknya.”
“Benar,” sahut penjual sayur seksi, Ceuceu Tari. Ia membesarkan payudaranya dengan silikon. Hingga, dadanya terlihat seolah-olah tumpah. “Nanti, kalau kamu jadi istri kontrak, jangan sampai kamu jatuh cinta pada suamimu. Hilang satu tumbuh seribu.”
Ceuceu Tari melanjutkan. “Dulu, sewaktu sebaya kamu, Ceuceu telah nikah kontrak dengan dua puluh pria Arab. Bahkan, ada yang hanya bertahan dua hari. Pernah juga suami kontrak Ceuceu melaporkan Ceuceu ke polisi. Maklum, Ceu Tari ketahuan tidak perawan.” Tawa hampa pun meledak di tengah pasar.
***
Desaku adalah surga dunia bagi orang-orang Arab. Mereka menamakannya Jabal Ahdor. Bila engkau berkunjung setelah Musim Haji atau Juni-Agustus, engkau akan melihat mereka menyerbu desa kami serupa kawanan semut merindukan gula. Dari karyawan swasta, ulama, pengusaha, tentara, hingga atlet binaraga. Umumnya tujuan mereka menghindari panas Riyadh, Medinah, atau Jeddah. Tapi, lebih banyak—terutama kaum pria—memiliki tujuan khusus. Kedatangan mereka sangat tertata. Turun dari Bandara Soekarno-Hatta, mereka tinggal menyebut kata Jabal pada sopir taksi. Maka, sopir taksi akan segera mengantarkan mereka ke desaku.
Kami menyebut bulan-bulan kedatangan warga arab tersebut ‘Musim Arab’. Di musim ini, nyaris setiap hari pria-pria Arab melangkah ke dalam rumah-rumah kami. Di ruang tamu-ruang tamu sudah menunggu seorang penghulu palsu (amil) yang lebih sering ‘dicabut’ di pangkalan tukang ojek, saksi, dan mempelai perempuan. Dengan mahar tiga juta rupiah, mereka bisa meniduri perempuan-perempuan cantik, sesuai kontrak. Mulai dari kontrak dua hari sampai tiga bulan. Tak jarang, perempuan-perempuan itu sudah punya suami resmi. Untuk perawan, mahar ijab memiliki harga khusus—bisa mencapai delapan puluh juta rupiah.
Beberapa temanku pun sudah menjadi istri kontrak. Alasan mereka klise, bosan hidup susah. Padahal, setiap ditinggalkan suami, mereka jauh lebih susah: menjadi janda atau memutuskan menjadi pelacur sungguhan. Mereka berguguran serupa kelopak-kelopak mawar yang tak sadar dirontokkan waktu.
Tidak jarang pria-pria Arab tersebut hanya meninggalkan janin. Lalu mereka mencari istri kontrak lagi. Alih-alih mengusir pria-pria dari negeri kelahiran para Nabi tersebut, para Imam turut mencarikan istri kontrak lagi. Dari pekerjaan menikahkan itulah, para Imam naik gaji dan punya biaya naik haji.
Dari secarik koran The Jakarta yang kusimpan, dalam sebuah seminar pariwisata, seorang imam menyatakan, ”If there are a lot of Middle East tourists traveling to Jabal Ahdor to seek janda, I think that it's OK. The children resulting from these relationships will have good genes. There will be more television actors and actresses from these pretty boys and girls.” Oh! Bukannya menjadi bintang sinetron, aku dan para anak-anak hasil kawin kontrak——bila kondom bocor—dianggap anak haram. Tak sedikit pula bernasip malang, mereka diadopsi atau dibuang.
Kini, hampir sembilan puluh persen penghuni desaku disesaki orang Arab. Dengan riyal dan rupiah, mereka menebar jaring laba-laba hitam, merontokkan kembang-kembang desa.Tak heran, kampungku dikenal juga sebagai Kampung Arab. Kami pun sudah mulai berbicara dalam bahasa Arab. Seluruh fasilitas umum: baik vila, restoran, wartel, travel, mini market, toko di sana bertuliskan bahasa Arab. Berbagai, makanan pun berlabel bahasa Arab. Dalam waktu dekat, Kepala Desa akan meresmikan kondom yang diberi label dengan tulisan Arab.
***
Dari vila mewah yang terletak di pinggang bukit, engkau akan mendengar sayup-sayup musik berirama padang pasir. Ketika usiaku lima belas tahun dua puluh dua hari, aku patah hati untuk pertama kali. Guru mengaji yang menjadi cinta pertamaku, berusaha memperkosaku di kamar mandi masjid. Setelah menendang kemaluannya, aku buru-buru pulang, ingin memeluk Ibu dan berteduh di bawah pohon yang tumbuh di hatinya, melabuhkan seluruh sesak di dada.
Namun, menjelang tujuh langkah sampai di rumah, aku tersihir alunan musik pengiring tari perut itu. Karena penasaran, aku menyusuri pinggang bukit menuju sumber suara. Semakin dekat, alunan musik yang diledakkan organ tunggal semakin menghantam gendang telinga.
Kulihat, di halaman vila tersebut, pria-pria Arab—dan perempuan-perempuan desa—menari-nari. Mereka menjerit-jerit dan bergoyang binal serupa anjing-anjing di musim kawin. Beberapa pria menggodaku. Bahkan, ada yang meraba dadaku yang masih rata. Bau mulutnya membuatku pusing.
Tiba-tiba, musaf al-Quran dalam pelukanku jatuh ke tanah. Langit terasa ambruk di bahuku. Mataku membelalak. Di atas panggung, Ibu meliuk setengah telanjang sambil memeragakan goyangan ngebor ala Inul Daratista. Aku sudah sering mendengar ibu—sebagaimana perempuan-perempuan desa kebanyakan—istri kontrak. Tapi, baru malam itu kulihat dengan mata dan kepala sendiri pekerjaan Ibu. Dengan hati lebur, aku berlari menuruni punggung bukit. Beberapa kali, diriku jatuh dan tersungkur. Di kaki bukit, aku menjumpai Ceuceu Tari yang berdandan norak layaknya bintang film biru.
“Kamu seharusnya bangga, Neng Geulis,” tutur Ceuceu Tari ketika kulaporkan pemandangan yang membuatku muntah berhari-hari. “Ibumu primadona desa kita. Bayarannya tinggi. Ia bisa memilih suami yang disukainya, bukan seperti Ceuceu yang berwajah pas-pasan. Ceuceu harus menerima unta-unta tua. Neneng tahu? Semakin tua, unta-unta itu semakin buas.”
Ceuceu Tari pun menceritakan petualangannya bersama seorang pria Arab—dipanggilnya dengan sebutan unta—dari obsesi darah perawan, viagra, sampai kama sutra. Darah mudaku mendidih. Diam-diam ingin mencicipi petualangannya.“Meski sudah bau tanah,” jelas Ceu Tari. “Ia kaya-raya dan lebih gila daripada unta muda. Dalam waktu satu bulan, ia telah menikahi lebih dua puluh perempuan berbeda. Ceuceu adalah perempuan kedua ribu Jabal Ahdor yang pernah menjadi istri kontraknya.”
“Bagaimana bisa??” tanyaku tak percaya. “Perempuan di desa kita, tidak lebih dari tiga ratus orang.”
“Duh, Neng Geulis,” tutur Ceu Tari sambil menepuk-nepuk bahuku. “Ke mana saja kamu selama ini? Istri-istri kontrak tidak berasal dari desa kita saja. Ada yang berasal dari Bogor, Cianjur, Sukabumi, Garut, dan daerah-daerah lainnya. Sudah mirip kawasan Bhinneka Tunggal Ika. Orang-orang Arab lebih banyak mengenal desa kita dari kawin kontrak.” Ceu Tari tertawa cekikikan. Tengah Ceu Tari tertawa, dua orang pria Arab yang sudah bau tanah, memakai singlet dan celana pendek—menghentikan sepeda motor di hadapan kami. Di pergelangan tangan mereka melingkar jam tangan bernilai ratusan juta. Ceuceu Tari langsung menghampiri motor mereka, lalu duduk di antara kedua pria itu. Sambil melambaikan tangannya, Ceuceu Tari masih terus tertawa. Entah mengapa, di telingaku tawa itu lebih menyerupai jeritan rusa yang terluka.
***
Sejak duduk di bangku SMA, para biyong—mak comblang kawin kontrak—sangat gigih meminangku untuk pria Arab yang tergoda kehangatan tubuhku yang berdarah campur, separuh Arab. Bahkan, ada yang menawar darah perawanku senilai satu milyar. Tak seorang pun yang peduli: pria Arab yang menjadi ayah biologisku bisa jadi anak kandung, cucu, atau ayah mereka sendiri.
Untunglah, akal sehat masih mengakar di benakku. Di saat teman-teman perempuanku bersolek untuk memikat pria-pria dari negeri turunnya Kitab Suci, aku sibuk memeras keringat dan mengumpulkan keping-keping rupiah. Internet memudahkanku untuk membangun bisnis online. Sehingga, aku bisa menjalankan usahaku sambil terus bersekolah. Berbagai kerajinan Nusantara—dari kain batik, dodol garut, sampai ukiran Jepara—menyusup ke Jabal Ahdor melalui ketukan jemariku di atas laptop. Tak jarang, aku terpilih untuk mewakili sekolah dalam kompetisi bisnis di universitas-universitas terkemuka. Beberapa universitas telah menjatuhkan surat undangan ke tanganku.
“Selamat, Anda diterima di Universitas Indonesia tes.”
“Selamat, Anda diterima di Universitas Gadjah Mada.”
Ada pula surat undangan dari perguruan tinggi Australia dan Amerika. Tapi, semuanya kubiarkan bercendawan di meja belajar. Kupikir, aku sudah tiba di masa depanku. Aku sudah mapan. Mandiri. Berkarya. Dan, tidak terlalu haus belaian laki-laki. Aku punya mimpi untuk melebarkan sayap-sayapku di kampung halamanku sendiri. Agar para perempuan mampu berdiri di atas kaki sendiri, tidak lagi berguguran bila badai Musim Arab datang menerjang.
Sementara itu, Ibu semakin gemar melakukan berbagai percobaan-percobaan bunuh diri. Pohon di hatinya semakin menanggalkan sisa-sisa dahan harapan. Oleng kesana-kemari. Kabut kelabu datang menyelimut. Kawanan peri tak lagi berpesta, meninggal pohon yang gundul di dalam semi ini. Kehadiran mereka digantikan rombongan burung pelatuk, rayap, dan kumbang pengerat yang menggerogoti setiap inci pohon itu, hari demi hari. Tampaknya, ia takkan lama lagi sukses bunuh diri.
***
Sungguh, tak pernah melintas di labirin pikiranku, tiba-tiba saja rumahku sudah bersih di hari kelulusanku. Beberapa tetangga membantu Ibu memuat barang-barang ke dalam mobil barang, termasuk produk-produk kerajinan dan panganan titipan yang belum kupasarkan. “Apa-apaan ini, Bu?” tanyaku tajam.
“Kita harus pergi dari sini!” seru Ibu sambil mengibas tanganku dengan lengannya yang tinggal kulit pembalut tulang.
“Hidupku di sini!” jeritku sambil mencengkram ijazah SMA.
“Tidak! Kita harus menjauh. Inilah satu-satunya jalan agar kamu tidak tergiur menjadi istri kontrak.”
“Aku tidak seperti Ibu! Aku takkan merelakan diriku jatuh ke pelukan pria-pria Arab yang hanya menikmati tubuhku sesaat.”
“Bagaimana kalau pria-pria Arab itu setampan Maher Zain? Apa kamu masih menolak tidur dengannya?” Aku terdiam. Ucapan ibu benar-benar tidak pernah terpikirkan olehku. “Itulah yang Ibu rasakan dulu!” tegas Ibu sambil terus mengepak barang. “Di sini, tidak ada tempat untuk melabuhkan cita dan cinta.”
Menjelang senja, mobil yang kami tumpangi telah menuruni kaki bukit, jauh meninggalkan Jabal Ahdor. Meninggalkan bumi yang bukan milik kami lagi karena para Imam menghamba pada lembaran-lembaran uang dan hembusan nafsu duaniawi. Di sisiku, hanya ibu yang kumiliki. Saat aku menggenggam jemari kurusnya, perlahan-lahan kurasakan pohon di hatinya bertunas kembali.***
Catatan: Jabal Ahdor (bukit atau gunung yang hijau). Sumber informasi: makalah ilmiah Fenomena Kawin Kontrak di Kawasan Puncak oleh Drs. Dede Mulkan, M. Si., Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung (2007). Artikel Kawin Kilat Dengan "Unta" oleh Isa Alimusa dari web: http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/1980/kawin_kilat_dengan_unta [20 April 2014].
0 Response to "Pemenang pertama cerpen FS kategori umum"
Posting Komentar