Pemenang kedua cerpen FS kategori umum

Ahmad Ijazi (Rambu Solo buat Indo)


RAMBU SOLO BUAT INDO

Oleh Ahmad Ijazi H

Jasmine Tomarere                                                                                
Malam ini begitu sepi. Kurasakan tongkonan[1]seperti pemakaman di tengah hutan yang teramat rimba kini. Sunyi. Dingin dan beku kian intim mewarnai malam-malam panjangku. Pada kerlap tarian kunang-kunang di pucuk kamboja, aku kian belajar memahami arti  pergi dan kembali. Juga tentang kehilangan.      
Dan waktu kian mendewasakanku, mengakrabkanku pada kesendirian. Tetapi kepergian orang-orang yang kucintai tetap meninggalkan jurang luka yang teramat curam di hatiku.
Di sini, di tongkonan ini, Indo[2]masih sakit[3], terbujur kaku dalam erong[4]seperti mumi yang diawetkan. Ketika aku mengadu, atau berkeluh kesah padanya, Indo hanya menjadi patung. Bergeming.
Apakah Indo masih bisa disembuhkan dari sakitnya setelah makanan beracun merenggut nyawanya setahun lalu? Aku ingin bercerita banyak hal pada Indo. Tetapi kata Ambe[5], Indo hendak terbang menuju puya[6]. Dan Indo membutuhkan tedong bonga[7]sebagai kendaraan agar cepat sampai menembus nirwana.
Tak adakah jalan lain selain rambu solo[8]? Tedong bonga harganya ratusan juta. Sementara untuk membeli seekor kerbau saja kami tak mampu. Jika hanya mengandalkan hasil tenun lipa garussu[9], sampai ringkih tubuh menganyam benang pada bilah-bilah belida[10], rambu solo untuk Indo tak akan kunjung terlaksana.
Aku beranjak menghampiri jendela. Purnama utuh di ketinggian langit Kampung Bonoan ini kupeluk dengan kedua bola mataku. Di sini, di balik jendela ini, kuembuskan nama kekasihku, Marlo Sarungallo.
“Jasmine, maafkan aku. Aku harus pergi merantau ke Jakarta,” berat mulutnya mengucap kata pamit waktu itu, di sudut lego-lego[11]tongkonan ini. Embusan napasnya begitu lirih.
Aku menangis. Tak perlu lagi kutanya alasannya pergi. Meninggalnya ambenya beberapa minggu yang lalu akibat diabetes menahun telah cukup memberi jawaban. Lagi-lagi, karena terbentur biaya, rambu solo. Akibatnya, mau tidak mau, ia harus menunjukkan baktinya, mencari dalle[12]sebanyak mungkin, meski banyak hal yang terpaksa harus ikut dikorbankan: perihal cinta dan kesetiaan.
Marlo memeluk tubuhku, begitu erat. “Sudah, kau jangan menangis lagi. Aku pergi tak akan lama. Setelah 5 tahun, aku pasti kembali untuk melamarmu.”
5 tahun? Oh, aku bisa rapuh memertahankan kesetiaan. “Kau janji tak akan berubah?” bergetar suaraku.
Marlo mengangguk tanpa ragu. “Sumpahi saja aku menjadi babi jika tak setia! Tongkonan ini saksinya.”
            Malam semakin suntuk. Embun mengabut. Kusudahi lamunanku dengan menyusut genangan air di pelupuk mata. Aku telah bersiap-siap hendak menutup jendela, namun seketika urung, karena tiba-tiba saja ekor mataku menangkap sekelebat bayangan sepasang manusia tengah bermesraan di bawah tongkonan yang remang.
Aku terkesiap. Siapa mereka?
            “Kapan kau akan menikahiku, Yose?” terdengar desahan perempuan manja.
Aku menelan ludah. Meski hanya samar, tetapi telingaku mampu menangkap dengan amat jelas suara itu. Bukankah Yose adalah nama panggilan Ambe, Yosefarra Tomarere?! Mataku membulat, tak percaya!
Oh, Indo, semoga kau damai menjadi bombo[13]—to makula[14],meski Ambe telah ingkar pada janjinya yang tak akan tergoda wanita lain sebelum rambu solo buatmu terlaksana.
            “Sudahlah, malam sudah sangat larut. Malam ini kau tidur denganku,” Ambe berbisik pada wanita penggoda itu, lalu mengendap-ngendap menaiki tangga tongkonan, pelan sekali. Sepertinya dia yakin sekali, tak seorang pun yang melihatnya.
            Aku gegas menutup jendela. Berusaha mendinginkan hati, meski tak sempuna karena detak jantung memompa dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Aku pura-pura tenang, seolah-olah tak pernah melihat perbuatan nista yang baru saja melintas dalam lingkar kepala. Aku berlari menuju kamarku, merebahkan tubuh dan memejamkan mata serapat mungkin. Aku berharap, ini hanya mimpi.
            Tetapi, lagi-lagi, bunyi derit pintu yang terbuka perlahan itu begitu jelas terdengar di gendang telingaku. Dan tentu saja, ini bukan mimpi! 
***
            Matahari telah merah. Kawanan kelelawar mendesing, terbang riuh melintasi pucuk-pucuk pohon mahoni. Senja benar-benar telah runtuh kini. Aku masih berdiri di lego-lego, ragu untuk masuk ke dalam tongkonan.
Sejak pagi, aku memang pergi dari rumah tanpa pamit terlebih dahulu pada Ambe. Sakit hati dan benci akibat melihat perbuatan terlarang Ambe malam itu membuatku melarikan diri ke sanggar tari. Di sanalah lukaku dapat sedikit terobati dengan berlatih pa’pangngan[15]bersama teman-teman SMA-ku yang baik hati. Seminggu yang lalu, kami juga mendapat undangan dari Kecamatan Kesu’ untuk tampil pada acara penyabutan Bupati Toraja, besok pagi. 
Aku masih bergeming. Menjadi patung di depan pintu. Apakah wanita penggoda itu masih berada dalam pelukan Ambe? Kalau benar, aku harus mengusirnya dari sini! Tak akan kubiarkan Indo menderita dan terus disakiti. Dalam erong di sumbung, Indo pasti tersikasa menjadi bombo.
Tiba-tiba daun pintu terkuak, wajah gusar Ambe menyembul. “Kenapa berdiri di situ? Ayo lekas masuk. Siapkan makan malam, Ambe lapar sekali sudah!” suara Ambe keras sekali. Tangannya menggengam botol ballo[16].
Apakah Ambe mabuk-mabukan saja seharian ini? Aku masuk ke dalam tongkonan, menyisir setiap sudut ruangan, penuh curiga, mencari-cari keberadaan wanita jalang itu.
“Di mana perempuan penggoda itu?” suaraku bergetar.
Mata Ambe terbelalak, seperti tak percaya dengan pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Sudah kuduga, Ambe pasti tak menyangka jika ada seseorang yang melihat perbuatannya malam itu.
“Apa maksudmu berkata begitu?”
“Tak kusangka, Ambe tega mengkhianati Indo. Padahal Indo masih sakit, tetapi Ambe berani berbuat mesum dengan membawa wanita jalang ke tongkonan ini!”
Plakk! Ambe menampar wajahku. “Jaga ucapanmu! Ambe tak pernah ajari kau meninggikan suara di hadapan orangtua. Kau baru 17 tahun, belum mengerti apa-apa persoalan hidup orang tua!”
Aku menangis lalu lari ke dalam kamar. Ambe menyusulku, tetapi pintu telah terlanjur kukunci, rapat. Sambil menggedor-gedor pintu, Ambe berteriak, “Kau harus tampil menarikan pa’pangngan di hadapan bupati besok pagi. Jangan sampai kau sakit! Ingat, kau harus mencari dalle sebanyak mungkin buat rambu solo Indo!”
***
Usai menarikan pa’pangngandi hadapan bupati Toraja, aku duduk di belakang tenda dengan tetap mengenakan pakaian adat dan kandaure[17]yang menjuntai-juntai memenuhi dada. Aku mengikuti jalannya acara sambil sesekali menguap karena dihinggapi rasa jenuh serta kantuk. Di kejauhan, kulihat Ambe asyik sekali mengobrol dengan beberapa pejabat berpakaian dinas, sesekali diselingi dengan tawa serta asap rokok yang mengepul. Entah apa yang sedang mereka bincangkan.
            Usai acara—sebelum kembali ke tongkonan, Ambe mengajakku singgah di Hotel Novotel Resort Toraja untuk bertemu seseorang. “Tadi di kantor camat, Ambe bertemu dengan teman lama, dan dia mengajak bertemu di sini. Katanya, ada bisnis bagus yang ingin dia bincangkan dengan Ambe.”
            Aku mengangguk saja sambil menyeruput orange juice dan beberapa makanan khas Toraja yang dipesan Ambe. Sementara Ambe sibuk menyalakan rokok kreteknya, sembari sesekali menekan-nekan tuts handphone-nya, membalas sms yang masuk. 
            Beberapa menit berikutnya, kurasakan mataku begitu berat. Sungguh aneh. Aku seperti baru saja menelan obat tidur dengan dosis tinggi. Berkali-kali aku menguap, sampai akhirnya aku benar-benar tak kuasa menahan kantuk lagi. Apa mungkin ada orang yang sengaja melarutkan obat tidur dalam gelas minumanku? Tapi siapa? Antara sadar dan tidak, kurasakan seseorang memapahku ke dalam sebuah kamar yang sangat dingin. Setelah itu, aku tak tahu apa-apa lagi. Lelap benar-benar telah membuat kesadaranku lenyap. 
***
            “Bangun, sudah!”
            Aku terperanjat kaget. Wajahku kuyup oleh cipratan air. Kupicing mataku yang begitu berat untuk dibuka. Samar-samar kulihat sesosok wanita mengenakan seragam karyawan hotel. Aku memandangnya lekat. Wanita jalang itu lagi?! Dadaku sesak melihatnya.
            “Kenakan pakaianmu! Ambemu telah menunggu di bawah. Kau harus pulang sekarang!” wanita itu melempar selembar pakaian ke arahku. Aku terenyak, mengenali tubuhku seperti orang bodoh. Tak ada selembar benang pun yang menempel di tubuhku. Polos! Tubuhku gemetar. Tak percaya. Apa yang telah terjadi denganku? Di mana aku?
“Kasihan sekali kau. Berharap mendapatkan uang yang banyak untuk upacara rambu solo Indomu, sampai-sampai ambemu tega menjual keperawananmu kepada lelaki hidung belang!” perkataan perempuan itu seperti petir.  
“Tutup mulutmu! Tak mungkin Ambe setega itu padaku!” suaraku parau.
            “Hei, kau harus tahu, kau itu bukan anak kandung Ambemu!” wanita itu menyeringai, seperti serigala. “Jauh sebelum Indomu menikah dengan Ambemu, kau telah berumur 2 tahun waktu itu. Tak jelas siapa lelaki yang telah menabur aib di rahim Indomu hingga kau terlahir ke dunia sebagai anak haram!”
Tubuhku menggigil. Tak ada kata-kata yang mampu kuucapkan lagi. Dalam ingatanku yang semakin meredup, yang tersisa hanya wajah Indo. Aku telah begitu lelah dan ingin menyerah pada takdir, pada kematian. Tetapi sebuah kekuatan mendesakku untuk membuka mata dan mengurai kembali perihal kematian Indo setahun yang lalu yang hingga kini masih menjadi misteri. Benarkah Indo meninggal dunia akibat keracunan makanan? Atau, jangan-jangan, Ambe yang telah tega meracuni Indo demi mendapatkan tongkonan serta menikahi wanita jalang itu?
“Jangan pernah kau berharap ambemu setia pada indomu, juga kau. Karena tak ada wanita lain yang ia cintai di dunia ini kecuali aku. Kau dan indomu hanyalah perempuan-perempuan bernasib malang!”
***
Marlo Sarungallo
            Aku baru saja menjejakkan kaki di teras tongkonan ini. Tiba-tiba gerimis luruh seperti buliran kristal yang ditaburkan dari kawah langit. Indoku (Indo Raya) dan ketiga adikku menyambut kedatanganku dengan penuh kegembiraan, lalu memelukku bergantian dengan linangan air mata bahagia. 5 tahun terasa begitu lama. Sungguh. Tetapi tongkonan ini tetap kokoh berdiri, seperti tak ada yang berubah.
Tiba-tiba aku merindukan Jasmine Tomarere, kekasihku. Di luar sana hujan semakin deras, padahal aku ingin sekali menjumpainya lalu membisikkan kata yang paling membahagiakan ke telinganya: “Aku akan melamarmu.”
“Indo, bagaimana kabar Jasmine sepeninggalku pergi? Apakah dia baik-baik saja?” aku menghampiri Indo usai berdoa di samping erong Ambe, di sumbung.
Indo tak lantas berbicara. Ia hanya memandangiku, lama. “Berhentilah mengharapkannya, Marlo. Dia telah pergi…”
“Pergi? Maksud Indo?”
“Tersebab dendam serta aib yang tak kuasa lagi dipikulnya, saat hamil 8 bulan, Jasmine menceburkan dirinya ke Sungai Sa’dan usai membakar tongkonan, 4 tahun lalu. Semuanya hangus terbakar, termasuk ambenya dan wanita selingkuhannya yang waktu itu tengah tertidur pulas. Sementara jasad Jasmine, hingga kini tak pernah diketemukan rimbanya…”
***
Indo Raya
            Masih melekat jelas dalam ingatanku ketika 4 tahun lalu Jasmine Tomarere menyambangiku saat tengah malam, saat embun telah mengabut, dan aku begitu terenyak mengenali keadaannya yang begitu memilukan. Tetapi, dengan senyum teramat tegarnya, ia berbisik lembut, menenangkanku.
            “Usai membakar tongkonan, dan melenyapkan orang-orang yang telah mengkhianati Indoku, kini hatiku tenang, tak lagi dihantui dendam. Meski ini sama sekali tak membahagiakanku, tetapi aku puas. Indo Raya, malam ini aku pamit padamu. Aku harus meninggalkan kampung ini dan menyerahkan diri kepada polisi. Semoga di balik dingin dan sunyinya dinding-dinding penjara, kelak janinku dapat lahir dengan tangis yang membahagiakan, sehat, selamat, dan diberkati Tuhan, meski tanpa keberadaan ayahnya.”
            Aku memeluknya. Tangisku deras, menganak sungai. Di pundakku, Jasmine tergugu, lantas berbisik dengan embusan napas penuh luka, lirih sekali, “Jika nanti Marlo kembali, dan menanyakan keberadaanku, katakan padanya bahwa arus Sungai Sa’dan telah membawaku pergi ke surga.”
            Hari ini, sebelum aku menjejakkan kaki di ruangan lembab, remang, serta berterali besi ini, aku sengaja menjemput Seroja dari orangtua asuhnya. “Jasmine, sekarang puterimu, Seroja, telah berumur 4 tahun. Dia cantik sekali sudah, sepertimu,” bisikku lirih, sembari memandang wanita yang terkurung di balik terali besi itu dengan tatapan penuh iba.
            Seroja memandang wanita itu dengan tatapan polos, bergeming, hampir tanpa ekspresi.
Sementara wanita itu hanya melemparkan tatapan kosong, menarik-narik rambutnya yang kian kusut, lalu mengguman dengan bahasa yang sulit dimengerti. Tetapi, beberapa saat kemudian, terdengar isak tangisnya yang begitu memilukan. Ia lantas membentak-bentak, lalu tertawa terbahak-bahak, sebelum akhirnya jeritan histerisnya yang menyayat pecah, meledak ke udara. []           
***
Pekanbaru-Makassar 2014


[1]Rumah adat khas Toraja
[2]Ibu
[3]Di Toraja, orang mati masih dianggap sakit jika pihak keluarga belum melaksanakan upacara Rambu Solo
[4]Peti mati
[5]Ayah
[6]Surga, Nirwana
[7]Kerbau pilihan yang harganya mencapai ratusan juta
[8]Upacara kematian khas Toraja
[9]Kain tenun untuk upacara adat
[10]Alat Tenun
[11]Teras Tongkonan
[12]Rejeki
[13]Roh yang menunggu upacara
[14]Orang mati yang belum diupacarakan, masih dianggap sakit
[15]Tarian tradisional khas Toraja yang dilakukan oleh gadis-gadis cantik untuk menyambut tamu
[16]Sejenis tuak, minuman keras
[17]Hiasan yang terbuat dari anyaman manik-manik

0 Response to "Pemenang kedua cerpen FS kategori umum"

Posting Komentar