Pemenang ketiga cerpen FS kategori pelajar

Ahmad Junaidi (Pertiwi di Kanvas Bapak)

PERTIWI DI KANVAS BAPAK

            Mereka disabda dari bermacam zat warna yang bermuara di sekitar rambut halus ujung kuas. Menari-nari di atas kanvas berbagai ukuran, melukis sebuah kehidupan tradisional berbau pertiwi. Mereka tertata rapi di sudut rumah kami. Walaupun kami hanya berdua, kami merasa ramai dengan hadirnya kehidupan kanvas itu, seolah-olah lukisan Bapak benar-benar hidup dan memberi warna. Begitu banyak rupa tradisional pertiwi yang dihasilkan bapak. Tapi aku tetap saja khawatir dengan usia beliau yang kian renta. Kanvas itu bagai menyerap energi kehidupan yang dimiliki Bapak. Seperti tiada hari tanpa melukis. Padahal, kanvas-kanvas itu jarang terjual. Kalaupun ada, Bapak pasti menjualnya dengan harga menengah ke bawah. Padahal, di mataku, lukisannya lebih hebat daripada seniman ternama, Affandi Koesoema sekalipun.
            “Pak, buat apa melukis sebanyak itu, bukankah lukisan itu tidak ada yang membeli. Bapak bisa rugi sendiri” Tanyaku. Aku iba melihat kerja keras bapak yang sepertinya percuma dan tidak bisa mengangkat status sosial keluarga.
            “Nak, ini bukanlah semata-mata karena uang. Ini untuk negeri kita, memperjuangkan warna alami pertiwi yang sudah memudar. Mungkin budaya alami pertiwi sudah hampir mati di negeri sendiri, dan warna baratmenjadi tersohor bagai jamur yang merebak di musim hujan. Tapi setidaknya Bapak bisa menghidupkan kembali budaya pertiwi ini di kanvas-kanvas Bapak” Bapak menatapku lamat.
            Aku sadar betapa cintanya Bapak pada pertiwi. Dulu, beliau pernah menceritakan kanvas-kanvasnya padaku. Ia menunjuk satu persatu lukisan dan menceritakan isinya. Seluruhnya tentang Indonesia. Aku masih ingat saat kanvas itu menghadirkan sosok wanita kebaya dengan raut penuh durjana. Ia memandang panggung pentasnya dipenuhi orang bermuka seram sedang menari di panggung mengenakan rok mini dan bra. Kata Bapak itu adalah kondisi pertiwi saat ini yang sudahterkontaminasi olehbudaya asing. Sampai-sampai penari sinden tereleminasi dari panggung pentas.
            Setiap hari Bapak semakin dekat dengan kanvas-kanvasnya. Ia tak peduli kondisi fisiknya yang renta dan gemetar. Keriput di sekujur badannya tidak menghalangi tangannya menari-nari di atas kanvas yang penuh polesan warna kehidupan. Warna-warni Negeri. Seandainya didata, mungkin Bapak telah menggambarnya dari Sabang hingga Merauke. Lukisan tari Saman, berbagai pagelaran seni, topeng-topeng Nusantara, festival Karapan Sapi, Jathilan Jawa, Tari Topeng Malangan, Kecak, Pertarungan Silek Harimau, dan budaya primitif. Seakan aku bisa berinteraksi dengan seluruh ras, suku dan bangsa di negeri ini. Bapaklah yang membuat rumah ini penuh warna.
            Bapak juga yang telah mengenalkanku pada almarhum ibu yang telah lama meninggal sebelum usiaku genap tiga bulan. Kata bapak, ibu mengalami insiden maut saat ia berjualan kue dan gorengan di jalan. Dengan kanvas itulah bapak mengenalkan sosok ibu yang telah bersusah payah melahirkanku ke dunia yang penuh warna ini. Dan berkatnya aku bisa bersanding dengan Bapak dan kanvas-kanvasnya berkat perjuangan ibu. Ibu selalu tersenyum di kanvas itu. Seorang bayi kecil juga sedang ditimangnya. Ya, itu aku, ketika berumur baru dua minggu.
            Aku sendiri, aku tak tahu apa yang aku punya. Aku hanyalah pemuda tanggung yang baru genap 16 tahun pada Juli kemarin. Aku hanya dapat mencetak nilai tinggi di lembar-lembar soal saat di sekolah. Aku tidak tahu apakah nilai-nilai itu kelak akan membawa manfaat atau tidak. Bapak bilang dengan nilai-nilaiku yang selalu bagus akan bisa mengangkat status sosial keluarga. Aku sendiri tidak yakin. Saat ini saja, ratusan nilai bagus yang aku hasilkan tidak bisa membantu pekerjaan bapak. Justru Bapak semakin terkekang karena biaya hidup yang semakin melunjak dan menjelma menjadi rampok egois yang menghantam hidup orang-orang miskin seperti kami.
***
            Sudah lewat pukul sebelas malam. Aku melihat Bapak keluar dari biliknya. Kulitnya yang putih keriput tampak dari balik kaosnya yang berlumuran cat air yang selalu Bapak kenakan saat beraktivitas melukis. Dadanya yang begitu ringkih tidak bisa menyembunyikan tonjolan-tonjolan tulang rusuk di dalamnya. Tangan kirinya memegang batang rokok, sedangkan kanannya mengepal kuas kayu. Secangkir kopi di dekat kanvas hanya menyisakan ampas hitam pekat. Kepulan asapnya sudah tak tampak setelah diseruput habis oleh Bapak.
            Wajah-wajah pertiwi itu benar-benar mengesankan. Saat menatap kanvas-kanvas Bapak, serasa ada kedamaian yang mengalir dalam jiwa. Seakan pertiwi kembali megah dengan berbagai budaya dan tradisinya yang kental.
            Walaupun begitu aku tidak bisa mengabaikan kerentanan tubuhnya. Di balik kanvas-kanvas ekspresifnya itu ada laki-laki berumur tiga perempat abad. Di balik kuas dan wadah cat itu ada tubuh renta yang sudah saatnya diistirahatkan. Dari sudut mata, aku menyaksikan dengan getir. Punggung Bapak yang legam, membungkuk, keriput dan berkeringat sedikit bergetar karena penyakit tua. Aku tak tega melihat beliau bersusah payah melukis. Setiap malam aku mengintip dari bilik. Selalu saja tangan Bapak menari di atas kanvas tanpa jemu. Aku sesekali menitikkan mata demi menyaksikan perjuangan Bapak yang memilukan. Seandainya saja aku punya keahlian seperti Bapak, pasti aku sudah membantunya. Tapi tak ada yang bisa aku abdikan untuk profesinya selain membelikan beliau batang kuas, cat air dan kanvas.
            Sudah dua bulan lebih tidak ada pelanggan untuk lukisan Bapak. Namun tetap saja Bapak gencar berkarya di dalam biliknya. Aku semakin khawatir dengan obsesi Bapak yang tak terelakkan. Seandainya saja seminggu kemarin Bapak menerima tawaran dari salah satu pelanggan, lumayan ada pemasukan. Namun Bapak menolak menjual lukisan Tari Jaranan yang ditawar itu dengan dalih Bapak juga menyukai lukisannya sendiri. Betapa egoisnya Bapak.
“Pak, sudah dua bulan lebih kita tidak ada pemasukan. Gimana ini pak, simpanan kita tinggal sedikit. Tidak cukup untuk sebulan ke depan. Lalu kita mau makan apa, Pak?” Tukasku mulai kesal dengan keegoisan Bapak.
            “Rejeki ada di tangan Tuhan, Le. Kita harus ikhlas dan tidak boleh putus asa” Kilah Bapak dengan santainya. Aku semakin kesal.
***
            BRUAK! Suara yang amat keras melengking dari bilik Bapak. Aku yang sedang mencuci pakaian segera beranjak dan berlari, melihat apa yang sedang terjadi.
            Jantungku berdegup kencang demi melihat Bapak yang sudah terkapar di lantai. Tangan kanannya masih menggenggam kuas. Sementara cat airnya tumpah ruah di atas lantai dan mengalir ke berbagai sudut.Aku segera membopong Bapak ke kamarnya, kemudian bergegas memanggil Pak Warno, mantri desa kami.
            “Bapakmu terlalu capek, Le. Darahnya naik lagi.” Ujar Pak Warno usai memeriksa kondisi Bapak. “Sebaiknya kegiatannya dikurangi dan banyak istirahat. Jangan terlalu sibuk.” Terang Pak Warno lagi. Lantas mengajakku keluar dari kamar Bapak.
“Tenan lho. Tensinya Bapakmu iku dhuwur banget, kudu dijogo tenan1. Harus banyak istirahat, jangan sering begadang. Pikirannya tidak boleh tegang. Kalau tidak, bisa-bisa Bapakmu kena stroke.” Pak Warno menambahkan. Hatiku mencelos, stroke?
            Nggih Pak, maturnuwun2. Lain kali Saya akan nasehati Bapak.” Aku mengantar Pak Warno pulang. Dadaku berdegup kencang, membayangkan apa saja yang bisa terjadi pada Bapak. Aku semakin khawatir dengan kondisi Bapak.
***
            Aku terpekur di dalam bilik Bapak, sementara Bapak masih beristirahat. Melihat kanvas-kanvas berpigura yang berbaris rapi di dinding bilik. Kanvas-kanvas yang amat disayangi Bapak. Ekspresi mereka yang menghanyutkan, pancaran sinarnya yang kontras dan panoramanya yang megah, sebenarnya menyisakan kebencian yang amat sangat dalam hatiku.
            Apa yang membuat mereka begitu berharga di mata Bapak? Apa yang bisa mereka berikan untuk kami, untuk beliau? Demi khayalan warna pertiwi Bapak rela hidup serba kekurangan, bahkan rela mengabaikan kesehatannya sendiri demi mimpinya untuk Indonesia yang ditorehakan dalam kanvas. Memangnya mereka bisa apa? Ketika Bapak tersungkur di hadapan mereka, apa yang mereka lakukan? Mereka hanya bisu, tegak di tempat masing-masing. Apalagi untuk mengembalikan budaya pertiwi, mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa selain menjadi pajangan dan hiasan. Aku menggigit bibirku geram. Cinta Bapak pada mereka tak ubahnya cinta yang bertepuk sebelah tangan.
***
            “Pak, hari ini jangan melukis lagi. Bapak berhenti saja melukis.” Kataku melihat Bapak bangkit dari tempat tidurnya. Langkah Bapak berhenti sesaat. “Bapak sudah ndakseharusnya melukis lagi. Bapak sakit, sudah waktunya pensiun dan istirahat. Lagipula apa sih gunanya melukis sebanyak itu? Jarang laku, harga jualnya juga rendah, ndak cukup buat hidup kita sehari-hari” Tambahku. Bapak diam, lantas menatapku tajam.
            Wisberhenti saja jadi seniman, Pak. Ndakada gunanya. Sekarang ini masyarakat sama sekali ndak menghargai lukisan budaya tradisional kayak gini. Lukisan-lukisan itu dijual saja ke loak, atau dititipkan ke galeri kota. Setelah itu biar Saya yang cari pekerjaan lain Pak, yang lebih menghasilkan.” Ocehku terus.
            “Bapak ndak peduli, Le. Biar sampai mati Bapak akan tetap melukis.” Kata-kata Bapak membuat darahku berlari ke ubun-ubun. “Kowe dhurung mongsone gholek dhuwit. Sinau sik sregep nak kowe arep nyenengke Bapak3Tuturnya.
            “Jangan begitu, Pak! Memangnya Bapak dapat apa kalau terus mempertahankan profesi Bapak itu? Yang beli juga cuma segelintir. Belum lagi yang Bapak sedekahkan pada turis-turis manca, hanya untuk mempromosikan negeri. Tanpa hasil. Kita rugi besar, Pak. Rugi! Negeri kita ndakakan kembali alami seperti dulu hanya dengan lukisan-lukisan mati milik Bapak. Sekarang sudah ndak ada yang peduli Pak! Percuma Bapak mempertahankan lukisan-lukisan itu. Bapak jangan goblok!”
            PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri dan memotong kalimat penghabisanku. Pipiku panas, kepalaku pening seketika. Bapak menatapku. Bukan dengan tatapan tajam dan menakutkan, melainkan dengan mata yang berkaca-kaca.
            “Bapak hanya mau berbakti pada negeri, Le. Menghargai, merawat, melestarikan budaya pertiwi. Dulu sewaktu Bapak kecil, lukisan macam ini masih sangat nyata. Kakekmu dulu juga menghidupi Bapak dengan lukisan-lukisan budayanya. Biarkan kalau orang-orang sudah tidak peduli, yang penting Bapak akan terus berupaya. Kebudayaan pertiwi akan mati kalau kita tidak menjaganya. Setidaknya dengan lukisan ini Bapak dapat mengenalkan kembali budaya-budaya pertiwi. Kamu boleh bilang Bapak goblok, tapi bagi Bapak ini adalah pengabdian Bapak pada pertiwi, pada bangsa. Hanya ini yang bisa Bapak lakukan.” Jelas Bapak, kemudian berlalu. Meninggalkanku yang masih tergugu.
***
            Sudah hampir seminggu sejak Bapak jatuh pingsan, tapi Bapak tetap bersikukuh melukis di dalam biliknya. Suasana di rumah juga menjadi tegang. Aku bisa mengerti penjelasan Bapak mengenai pengabdian, hanya aku masih tidak rela melihat tubuh rentanya terus dipaksa berjuang. Aku bisa melihat gemetar tubuhnya saat beliau melukis. Aku bisa menelisik kesulitannya saat beliau bangkit dari duduk. Aku bisa melihat pelupuk matanya yang kian tenggelam. Ini jelas pertanda bahwa beliau harus istirahat.
            Malam ini, seperti biasa Bapak masih memaksakan diri untuk melukis di kanvas-kanvasnya, tanpa bisa kucegah. Anjuran dan laranganku tiap hari tidak digubrisnya. Saat properti sudah siap, kanvas putih polos telah tegak di depan Bapak, beliau mulai beraksi. Tangannya masih lihai menari di atas kanvas. Warna-warna yang dihasilkan tetap kontras. Wajah-wajah di kanvas mulai terlihat, namun tiba-tiba...
            BRUAK! Tubuh ringkih Bapak menghantam lantai kami. Bapak ambruk, badannya mengejang. Tangannya menyenggol cangkir berisi kopi panas di sampingnya. Kuas yang digenggamnya terjatuh.
            “BAPAK!” Aku berteriak minta tolong. Segera setelah wargaberduyun-duyun ke rumah kami. Aku berlari mendekati Bapak. Orang-orang turut riuh melihat Bapak yang terkapar dan benar-benar tak berdaya. Beberapa mencoba menolong. Aku mendekap raganya yang dingin, kaku dan tegang. Urat lehernya tertekan. Wajahnya kaku, membentuk ekspresi yang tak wajar. Tatapan matanya kosong. Detak jantungku seolah berhenti. Aku mengguncang-guncang tubuh Bapak, namun tidak ada reaksi. Badannya semakin kaku. Mungkinkah?
            Ya Tuhan! Jangan! Aku memeluk tubuh Bapak yang kaku, sementara wajah-wajah di kanvas Bapak menari-nari di pikiranku. “Kanvas-kanvas itu penyebabnya!” Batinku merutuk, geram. Sementara bening berguguran melintasi pelupuk mataku.
***
            Aku terpekur di antara ratusan orang-orang yang telah disemayamkan, tepat di samping kediaman abadi Bapak. Beningku masih saja menetes. Mataku sembap menatap rumah Bapak yang amat sepit dan tidak ada ruang gerak. Rumah tanpa bilik yang bisa Bapak gunakan untuk melukis. Tak ada lagi secangkir kopi dan puntung rokok yang menemaninya saat bermain-main dengan kuasnya. Sedangkan wajah-wajah di kanvas itu masih saja menari riang dalam pikiranku.
------------------------------------------------------------------------------------------
1. Beneran lho, tensinya Bapakmu itu tinggi banget. Harus dijaga bener.
2. Iya Pak, terima kasih
3. Kamu belum saatnya cari uang. Belajar yang rajin kalau kamu mau bahagiakan Bapak

0 Response to "Pemenang ketiga cerpen FS kategori pelajar"

Posting Komentar