pemenang kedua cerpen FS kategori pelajar

juara kedua pemenang cerpen festival sastra 2014
Ilfaswari Maharani (Jaran Kepang)


Jaran Kepang
Oleh : Ilfaswari Maharani

            Padanganku bersembunyi di balik tirai tipis yang mirip dengan sarangan nasi ini. Temaram lampu menyoroti bagian tengahnya. Di samping berjejer gong suwukan, siter, kendang, gambang suling, saron, dan tetek bengek alat yang akan digunakan untuk pentas malam ini. Alunan iramanya pun sesekali terdengar disesuaikan sebelum gala budaya itu dimulai.
            Di belakang panggung sibuk wanita-wanita sinden merias dirinya. Konde-konde besar bertengger lengkap dengan dandanan menor setebal “alaihim”. Selain mereka, tampak beberapa lelaki berbusana mirip dengan abdi dalem keraton. Terlihat sibuk mondar-mandir mempersiapkan diri.
            Tidak perlu rusuh berdandan seperti mereka. Bekalku hanya satu topeng buto berwajah setengah singa dan kecrik yang setia melilit di kedua kakiku. Sambil menunggu,aku dan kawanku duduk anteng bersama “kuda” jagoannya masing-masing. Kuda kami inilah yang akan mengambil bagian penting pada acara pagelaran budaya di kampungku ini.
Bagi warga kampungku, permainan jarang kepang bukanlah suatu yang aneh. Kami sering menyebutnya dengan jatilan. Pagelaran ini sendiri dibuat untuk merayakan kemenangan pemuka kampung yang baru terpilih sebagai kades. Sebagai pemenang, ia berencana akan menggelar pesta kecil-kecilan di empat kampung secara bergiliran. Tentu saja semua warga sangat antusias melihatnya. Tak ayal lagi itu karena mereka tak harus bersusah payah pergi ke sasana budaya di Malioboro sana.
Sebetulnya aku sendiri bukan warga asli kampung ini. Tapi aku pernah dengar kabar burung mengatakan bahwa kampung inilah sebagai lumbung Dewi Sri. Rakyatnya makmur dan pemimpinya pun ikut-ikutan sejahtera. Ah... pantas kandidat yang ingin menjadi kades begitu membludak saat pemilihan kemarin.
Sesekali kulihat lagi kerumunan orang-orang di luar yang terdengar riuh berbincang. Kursi plastik yang disediakan untuk penonton pun sudah terlihat sesak. Saking sesaknya hingga beberapa dari mereka duduk lesehan. Sinden yang tadi berdandan di belakang panggung pun sudah duduk manis di antara pemaingamelan.
“ Kupikir acara akan segera dimulai Cak,” aku berdecak memandang ramainya suasana.
“ Tenang saja Han! Kita penampil terakhir, biarkan mbok-mbok sinden dan penari-penari itu saja yang main duluan. Habis gitu giliran kita yang sikat!” balas Witno kepadaku.
            Sebagai acara penutup hari ini, sudah tentu jatilan ditunggu kehadiranya. Malam yang larut pun tidak menghalangi antusias warga untuk melihat kami unjuk gigi. Keunikan yang paling memikat adalah jatilan identik dengan unsur magis. Bahkan pernah timbul kontroversi bahwa jatilan menjalin kerjasama dengan setan. Hahaha... biarlah aku tak peduli.
            Tidak hanya di kampungku. Jatilan juga menjadi primadona di seluruh Jawa Tengah. Ironi! Kini popularitasnya terkikis sedikit demi sedikit. Anak muda zaman sekarang mengira jadi tukang tari hanya menjadikan mereka miskin. Melihat pertunjukanya pun dikatakan norak. Mereka memang benar, lihat saja aku ini. Melarat! Namun kurasa cintaku terhadap budaya ini yang membasahkan dahagaku terhadap gemerlapnya matrealistik hidup.
Jujur saja, aku sudah muak dengan mereka yang begitu sensitif ketika budayanya dicuri. Bualan sampahnya sama sekali tidak membantu. Mereka terus menggertakan mulut tapi hati dan tindaknya lumpuh total! Menyayat batin ketika aku dan ribuan seniman lainya setengah mati bertahan agar anak cucu kami bisa sekedar tahu apa itu jatilan dan kesenian lainya.
Sengketa dengan orang tua ketika anaknya mulai sudi mengenal jatilan jadi segelintir realitas di sanggarku. Mereka menjadi jemawa terhadap budayanya sendiri,bahkan terkesan asing!
            Mereka tidak sadar bahwa budayalah yang membuat dagangan mereka payu di Malioboro. Budaya juga yang mengenalkan Yogya sebagai kota para maestro dunia. Budaya yang mendatangkan devisa dari turis-turis untuk melihat seberapa istimewanya Indonesia. Jadi, pepatah : “ Di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung.” memang tidak pernah dusta. Kita harus memberikan ruang agar kebudayaan dapat bebas bermetamorfosa. Berani belajar dari negara tetangga, ya... mereka tidak pernah angkuh melipat tangan di dada terhadap budayanya. Bukannya tutup telinga dan tutup mata. Tidak peduli!
            Waktu semakin dekat. Pawang sudah sibuk melakukan prosesi di lapang sepi. Dupa yang ia bakar terlihat menyala-nyala berputar-putar di atas belangkonnya. Mulutnya komat-kamit melantunkan kata-kata yang tidak kumengerti. Tanganya sesekali menaburkan kembang tujuh rupa dari kendi yang ia bawa. Aroma kemenyan yang ia bakar, bahkan sampai bisa singgah di hidungku.
            Pawang itu biasa kupanggil mbah Darso. Dari bongkoknya saja mungkin kalian sudah bisa menebak berapa usianya. Banyak warga yang patuh kepda wejangan sesepuh desa ini. Selain itu, beliau terkenal sebagai kuncenmahkluk astral di kampungku. Untuk urusan undang mengundang setan mbah Darso ini ahlinya.
             Beginilah jatilan, harus ada operator yang bertugas mengurusi makhluk-makhluk halus seperti itu. Terasa ajaib memang bisa memakan beling dan kebal dibacok. Jika bisa kulihat isi perutku bak arena medan perang penuh ranjau. Tapi pagelaranku sekarang, penyelenggara melarang untuk melakukan hal tersebut.
Ndak usah pakai atraksi gapapa mas. Jangan sampai kesurupan!” pinta salah satu panitia saat menemui kami.
Seruan pembawa acara memecah kebekuan malam itu. Pawang beranjak dari tugasnya tadi dan pindah mengawasi kami. Selalu begini di setiap acara yang kami hibur pawang harus mendampingi.
            Suara musik gamelan mengalun dengan ritme yang pelan. Barisan kuda-kuda kepang bambu berjalan ke tengah pagelaran. Riuh suara tepuk tangan penonton menghujani gendang telingaku. Dapat kulihat kades yang baru terpilih itu duduk di kursi paling depan bersampingan dengan para tokoh kampung lainya.
            Kami mulai memasang formasi. Gerakan yang perlahan di awal tadi sedikit demi sedikit berubah menjadi cepat dan dinamis. Musik gamelan itu menjadi remote kontrol gerakanku. Semakin kencang alunanya tarian pun semakin rancak. Mitosnya musik adalah simbol pemanggil setan di jatilan ini.
Seni bela dirilah yang menjadi alternatif penampilan kami. Tidak perlu dirasuki, sesuai dengan pesan yang punya hajat. Sesekali mataku tertuju pada pawang yang berdiri di belakang pemain gamelan. Kurasa banyak gerakan yang tak kuhendaki. Biasanya ini fase ketika tubuhku kemasukan makhluk halus.
“Ada yang tidak beres!” pikirku.
            Kawanku yang sedang menari pun sepertinya tahu. Terkadang  di sela-sela gerakan, mereka berbisik menyuruhku berhati-hati. Benar saja itu terjadi! Tidak lama kemudian aku bisa melihat diriku sendiri bermain jatilan.
            Ragaku sudah diisi oleh makhluk lain, aku dirasuki! Tapi bagaimana mungkin pawang membiarkan ini terjadi? Malah ia dengan santainya tetap melihatku bermain.
            Kupercayakan sepenuhnya kepada pawang. Tidak mungkin dia melakukan hal yang tidak semestinya. Kubiarkan tubuku geloyoranke sana ke mari. Dari sini kulihat ragaku kelimpungan bermain jatilan.
            Formasi terakhir menceritakan tentang rakyat jelata di zaman Belanda dulu. Kawan-kawanku menggiringku menuju bagian depan. Di dalam jatilan wajib hukumnya mereka yang sudah dirasuki menjadi pemeran utama. Aku memperagakan atraksi bela diri sebagai bentuk perlawanan rakyat dahulu. Semakin lama semakin dekat dengan tamu undangan di kursi depan.
Musik gamelan bertalu-talu dengan cepatnya. Kecrik di kakiku juga makin cempreng berbunyi. Gerakan yang kulakukan semakin arogan. Badanku mulai terguncang ke segala arah, membuatku sulit untuk mengotrolnya. Nafasku tersengal, dalam dadaku seperti ada bola api panas yang siap diluncurkan menuju mangsanya.Entah mengapa kurasa ada benci yang begitu sesak terasa.
            Keadaan mulai ricuh saat kawan-kawanku kewalahan mengontrol gerakan yang kuperagakan. Melompat sambil menendang dan berlari ke barisan kursi orang-orang penting itu. Beberapa penonton yang duduk lesehan mulai berhamburan pergi.Mereka takutaku semakin anarkis.
            Berkali-kali kumencoba mengambil alih tubuhku. Tapi nihil! Ketika semakin dekat dengan barisan kursi pak kades aku menghantam mejanya. Mengobrak-abrik semua benda yang kupegang. Orang-orang disampingnya berhamburan pergi sambil berteriak, “ Iku Pak Kades!” pertanda meminta bantuan.
            Kulihat pawang masih berdiri di tempatnya. Aku semakin limbung tatkala Pak Kades beranjak lari menyelamatkan diri. Aku mengejar dan menjatuhkan badanya. Teriakan histeris warga pun makin kencang.
            Pak Kades yang terkapar kulihat merangkak berusaha menyelamatkan diri. Berkali-kali dia memukulku tapi berkali-kali juga aku menendangnya. Beberapa hansip mencoba menolong. Sebuah kursi kayu melayang tepat di punggungku.
“Praaakk!!”
            Hanya sekejap tubuhku terjatuh lalu bangkit kembali. Diriku seperti seorang Buto Cakil yang tak bisa dimatikan.Entah sudah berapa banyak bogem mentah aku hantamkan ke perut dan wajahnya. Mematahkan pergelangan tanganya, mencakar kulitnya, dan bahkan mengigit pundaknya! 
            Ketika tubuhnya sudah tidak bergerak pawang mulai berlari menghampiriku yang semakin menggila. Menyemburkan air dan mengusap wajahku. Aku terjatuh dan sedikit demi sedikit mulai sadar. Betapa kagetnya kedapatan melihat pak kades tergolek lemah dengan luka lebam dan babak belur di sekujur tubuhnya. Warga buru-buru mengamankan diriku takut-takut itu terjadi lagi.
***
            Kekecewaanku kepada pawang terlampau besar. Aku tertunduk lesu dan bingung harus melakukan apa. Bagaimana jika Pak Kades geger otak? Bagaimana jika Pak Kades tidak terima dengan tindakanku tadi dan berniat melaporkanya ke Polisi? Bagaimana jika Pak Kades meminta ganti rugi?
“ Koe orapopo toh Han?” pawang menepuk pundakku.
“ Ndak Mbah. Kenapa tadi Mbah tidak bantu saya untuk berhenti? Saya takut nanti sanggar kita disuruh bubar Mbah!” kataku mulai meminta penjelasan. Mbah tersenyum dan menjelaskan semuanya, tapi aku masih tidak mengerti.
            Setelah kejadian itu sanggar kami memang benar di tutup, alasannya telah membuat orang terhormat di kampungku tersakiti dan hampir sekarat. Beruntung pak kades tidak mati setelah insiden itu. Dia hanya mencemooh kami sebagai binatang. Biarlah! Orang terhormat mungkin memang seperti itu.
Tapi tidak lama berselangpetuah dari mbah Darso terbukti. Rumah pak kades di kepung warga kampung yang geram karena ulanya. Aku dengar bahwa pak kades yang terhormat itu membantu memenangkan sengketa tanah sawah milik salah satu warga. Luasnya 40 hektar dialokaasikan untuk perumahan penduduk kota. Hampir saja anak isterinya bonyok karena rumahnya habis diserbu warga. Mereka kesal karena ulahnya itu petani kampungku terpaksa gagal panen.
            Polisi yang segera datang mencoba mengamankan pak kades dengan menggelandangnya ke kantor Polisi. Dalam perjalanan menuju ke luar kampung masih saja banyak warga yang gemas melemparinya dengan batu. Bersumpah-serapah mengumpat dirinya dan keluarga. Lucunya lagi ternyata tidak sedikit warga yang berteriak menyeringai tajam.
“ Oh dasar kēte! Kenapa kemaren gak sekalian aja mati di bunuh sama kuda!”
            Aku teringat penjelasan mbah selepas pagelaran kemarin.
.  “ Tadi Mbah sudah nuwun sewu sama yang punya tempat sebelum kalian pentas. Tapi buyut lain bilang bahwa harus ada yang dipinjem tubuhnya. Kamu tau toh Han kalo jatilan ini sebelumnya ditunjukkan sebagai bentuk perlawan rakyat Indonesia ketika dijajah. Dulu rakyatnya masih jelata, ndak punya senjata kaya mereka. Pangeran dan sunan dulu pun pernah pake jatilan ini. Mereka di bantu roh-roh itu untuk menghabisi musuh. Sekarang ini, penjajah macem-macem wujudnya. Bisa wujudnya manusia tapi hatinya demit.Tidak usah salahkan dirimu sudah ngabisin dia barusan. Mbah percaya pasti ada hikmahnya. Sebetulnya mereka ndak sadar. Bodoh! Kelicikan mereka itu saja bisa diketahui sama orang mati. Apalagi Tuhan! Baru dikasih beginian sama kamu saja sudah nelangsa. Apalagi hukuman Tuhan!”




Kamus Kecil

Tetek bengek              :Berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan dari mulai hal terkecil hingga terbesar.
Kecrik                         :Semacam aksesoris dalam pentas jatilan yang terbuat dari besi dan dapat mengeluarkan bunyi.
Buto                            :Sebutan dalam bahasa Jawa untuk suatu makhluk yang besar dan menyeramkan.
Cak                             : Panggilan dalam bahasa Jawa kepada lelaki.
Kuncen                       :Juru kunci.
Ndak                           :Tidak.
Iku                              : Itu
Hansip                        :Penjaga keamanan desa.
“Koe orapopo toh”     :”Kamu tidak kenapa-kenapa kan?”
Kēte                             : Monyet.
Nuwun sewu              : Permohonan meminta izin dalam bahasa Jawa.
Demit                          : Sebangsa setan-setanan.

0 Response to "pemenang kedua cerpen FS kategori pelajar"

Posting Komentar